Tata Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perihal Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Permendikbud PPKS) digadang-gadang menjadi instrumen undang-undang yang memiliki andil dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Mahkamah Agung (MA) belum lama ini menolak gugatan judicial review terhadap Permendikbud PPKS pada Selasa (19/4) setelah segenap lembaga advokasi, koalisi masyarakat sipil, serta sivitas akademika slot kakek tua mengajukan amicus curiae atas gugatan yang dilayangkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM).

Permendikbud PPKS serta seluruh aspeknya lantas disosialisasikan oleh Fakultas Tertib Universitas Diponegoro (FH Undip) melalui webinar nasional bertajuk “Urgensi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Webinar yang diselenggarakan pada Senin (11/4) lalu diselenggarakan secara daring melalui platform Zoom dengan mengundang tiga narasumber.

Kunthi Tridewiyanti selaku mantan ketua divisi Komnas Perempuan yang kini adalah dosen Fakultas Tertib Universitas Pancasila menyinggung pentingnya Permendikbud lantaran kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat menjadi hal yang perlu dilihat.

“Dulu, dikala awal-awal orang menyebutkan kekerasan seksual, banyak sekali yang menolak perihal istilah itu karena diukur vulgar sekali, namun sesungguhnya (kekerasan seksual) yang terjadi di masyarakat luar awam,” Ujar Kunthi.

“Kita bisa lihat data Komnas Perempuan bahwa dari 2015 sampai 2020 saja, itu ada 27 persen aduan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Namun, kekerasan seksual secara umum dari hasil-hasil pengaduan yang ada di Komnas Perempuan dan NGO pada awalnya ada 15 bentuk kekerasan seksual yang dicoba dihimpun dan itu benar-benar berasal dari teman-teman yang mengadukan,” lanjutnya.

Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan rentang waktu 2020-2024 turut serta memberikan data berhubungan dengan situasi kekerasan seksual di Indonesia. Ia menuturkan bahwa Komnas Perempuan menerima 16 kasus kekerasan seksual setiap-setiap harinya.

“Yang diadukan ke Komnas perempuan, saya memangku salah satu subkom pemantauan yang menerima kasus itu dalam setahun. Tahun lalu, (ada) 4.322 kasus, artinya setiap-setiap hari kami menerima 16 kasus,” ujar Siti.

Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Adapun jumlah kasus pada tahun 2021 berdasarkan data yang dihimpun oleh lembaga layanan dan pengaduan Komnas Perempuan terhitung cukup tinggi, adalah sejumlah 4.660 kasus. Pun, tren yang kini muncul dalam kasus kekerasan seksual adalah kekerasan siber berbasis gender terhadap perempuan di mana pada tahun 2021 terjadi peningkatan kasus sebesar 83 persen dari tahun sebelumnya.

Kunthi kembali menambahkan bahwa data hal yang demikian pun turut serta disokong oleh survei Kemendikbudristek yang menggambarkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, tak terkecuali kampus. Contohnya ini dipertegas dengan hasil info lapangan yang menyebutkan bahwa kampus menempati urutan ketiga dengan persentase 15 persen sebagai lokasi terbanyak terjadinya kekerasan seksual pada tahun 2019.

“Data ini diperkuat dengan info lapangan dari Kemendikbudristek tahun 2019 bahwa kampus menempati urutan ketiga lokasi terjadinya tindak kekerasan seksual dan 15 persen itu terjadi, kemudian setelahnya terjadi di jalanan 33 persen, dan transportasi 19 persen. Jadi, kekerasan seksual terjadi di mana-mana,” tegasnya.

Keresahan yang ditinjau pada maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi melihat kenyataan pada minimnya data yang dilaporkan. “Lemahnya penanganan kasus-kasus di kampus karena mau tidak mau bahwa orang yang melaksanakan adalah orang yang dekat di lingkungan itu, malah bisa terjadi adanya kekerabatan kuasa,” tutur Kunthi.

“Dia dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, dan mahasiswi dengan pendidik di mana jelas-jelas akan memperlihatkan adanya kekerabatan kuasa yang memperlihatkan ketidakberdayaan korban,” tambahnya.

Ia pun turut serta menambahkan bahwa minimnya jalan masuk korban terhadap pemulihan dan penanganan psikologis menjadi alasan yang kuat di balik data yang tidak dilaporkan hal yang demikian. Secara keseluruhan, terjadi ketidakadilan yang terlihat dari fakta bahwa pelaku sering kali masih mendapatkan perhatian lebih di kalangan masyarakat.

“Jadi, jikalau kita lihat jalan masuk korban seperti apa, pertama jalan masuk korban terhadap menyuarakan bahwa dia adalah korban yang mengalami kekerasan seksual ini yang menyebabkan karena mereka tidak bersuara, maka minim pengaduan, ditambah lagi tidak ada jalan masuk yang jelas perihal pemulihan apalagi keadilan,”

“Lalu bagaimana dengan pelaku? Pelaku yang ada ini menari-menari dan seringkali justru menerima perhatian terhadap masyarakat yang luar awam,” imbuhnya.

Kunthi mengambil teladan kasus yang baru-baru ini menggemparkan publik, adalah kasus kekerasan seksual di Universitas Riau. “Kita ambil teladan (kasus) misalnya kasus Riau, sungguh menyedihkan dan di situ keliatan bahwa ada kekerabatan kuasa antara pelaku dan korban yang mana ini dimanfaatkan oleh pelaku atas kerentanan, ketergantungan, dan ketidakberdayaan korban,” jelasnya.

Pengawalan Kasus

Pada tahun 2018 silam, Komnas Perempuan menyatakan bahwa mereka memiliki andil dalam memantau salah satu kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kasus hal yang demikian dikenal dengan sebutan slot garansi 100 kasus air mani. Mereka pun memastikan untuk mengambil langkah-langkah yang lebih progresif dalam menindak kasus hal yang demikian.

“Komnas perempuan melaksanakan pemantauan satu kasus kekerasan seksual yang dilakukan mahasiswa Undip terhadap mahasiswa Undip (lainnya) dan istrinya yang kami sebut (sebagai) kasus air mani. Itu yang ditangani atau ditemani (oleh) LRC-KJHAM,” ungkap Kunthi.

“Komnas perempuan melaksanakan dorongan dan pemantauan sejak tingkat penyidikan. Cara kemarin sudah diputuskan pidana 6 bulan dengan ternyata melaksanakan pelanggaran pasal 281,” imbuhnya.

Dalam kasus ini, Komnas Perempuan telah melaksanakan langkah dengan mengirimkan surat saran kepada rektor Undip maupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk membantu pemulihan korban, serta memberikan sanksi kepada pelaku. Contohnya ini dilakukan karena mereka masih berstatus mahasiswa dan terikat dalam civitas akademika.

Kunthi pun menyatakan akibat kekerasan hal yang demikian kepada korban, terutamanya akibat kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual. “Kami mendapatkan laporan bahwa sampai dikala ini korban dan suaminya mengalami Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) dan mengalami kesulitan untuk makan karena selama bertahun-tahun makanan yang mereka konsumsi tercampur dengan air mani,” jelasnya.

Peran Permendikbud di Lingkungan Kampus

Permendikbud, menurut Kunthi, memiliki kelebihan yang lebih advance dimana dalam penanganan kasus kekerasan seksual sendiri berfokus pada tiga aspek utama dalam penanganan kasus, yaitu pengungkapan kebenaran, pemulihan, dan keadilan.

Kunthi juga menekankan peran Permendikbud PPKS sebagai upaya dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang harus mengedepankan hak korban sehingga bentuk-bentuk tindakan akan dipegang menggunakan sudut pandang korban.

“Jadi, menarik, ya, teman-teman bahwa sering kali jikalau kita lihat di dalam tata tertib itu, hak-hak pelaku dimunculkan dan hak-hak korban sering kali tenggelam. Dengan adanya deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan UU perlindungan saksi korban, maka kita mulai untuk memandang hak-hak korban,” tegas Kunthi.

Dalam Permendikbud PPKS No. 30 Tahun 2021, terutamanya dalam pasal 5, dijabarkan bahwa terdapat 21 bentuk-bentuk kekerasan seksual, baik yang dilakukan secara verbal, nonfisik, psikis, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Lahirnya Permendikbud ini adalah angin segar sebab hal hal yang demikian dapat menjadi upaya dalam pemenuhan hak pendidik bagi semua warga negara Indonesia, terutamanya di perguruan tinggi. Kunthi mengukur bahwa ini adalah hal yang menarik karena akan menciptakan lingkungan yang aman serta pendekatan institusi yang berkelanjutan dapat dilakukan dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual.

“Penanggulangan kekerasan seksual dengan pendekatan institusi dan berkelanjutan penting sekali karena sering kali korban harus berjalan sendiri dalam proses-pengerjaannya, kemudian memberikan kepastian undang-undang bagi pemimpin perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas terhadap kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus,” imbuhnya.

Jelas pembentukan Permendikbud No. 30 Tahun 2021 ini memakan waktu selama 1,5 tahun dengan melibatkan jaringan masyarakat sipil yang bergerak baik di kabar kekerasan, disabilitas, maupun lintas iman.

“Ini menarik pada pembahasan-pembahasan di dalam Permendikbud. Ia tidak hanya (berbincang-bincang perihal) kabar-kabar kekerasan, namun juga banyak penyandang disabilitas yang sulit menyuarakan apa yang dialaminya dan termasuk lintas iman. Lintas iman ini dari beraneka agama yang dilibatkan disini, namun ada juga yang dalam proses ini kontra terhadap Permendikbud.” Selanjutnya Kunthi.

Penyusunan Permendikbud PPKS, dalam pengerjaannya memerlukan pengambilan langkah-langkah tindak lanjut, baik oleh pemerintah maupun masyarakat hingga media. Dalam hal ini, sosialisasi perlu dilakukan secara luas oleh Kemendikbud berhubungan Permendikbud PPKS, kemudian perlu adanya komitmen dari perguruan tinggi untuk mengimplementasikan Permendikbud PPKS.

“Kemendikbud perlu mensosialisasikan secara luas permendikbud pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Karenanya, adalah komitmen perguruan tinggi untuk mengimplementasikan Permendikbud PPKS hal yang demikian,” jelas Kunthi.

Peran serta masyarakat tak luput dari langkah-langkah yang harus diambil setelah Permendikbud hadir di mana masyarakat diminta untuk menunjang metode kerja Permendikbud PPKS. Media pun diharapkan turut serta mengambil langkah dengan menyosialisasikan pentingnya perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual dalam Permendikbud.

Upaya Sedangkan Satgas Kekerasan Seksual

Perguruan tinggi diukur memiliki kewajiban berhubungan apa yang harus dilakukan mengenai pemenuhan hak-hak korban sebagai bentuk upaya perlindungan korban kasus kekerasan seksual. Maka dari itu, satuan tugas atau yang dikenal dengan istilah satgas perlu dibentuk untuk menangani kasus kekerasan seksual.

“Kemudian bagaimana dengan tugasnya mekanismenya atau terkait dengan metode atau unit pelaksana tugasnya pada masing-masing perguruan tinggi juga mungkin terkait dengan bagaimana metode rekrutmennya dan apa saja yang harus dipenuhi pada dikala mereka menjadi Satgas? Apakah ada standard misalkan (atau) sertifikasi,” imbuh Siti Aminah.

Nur Rochaeti selaku salah satu narasumber menegaskan bahwa mereka sedang membuka peran terhadap komponen yang ada di Universitas Diponegoro untuk memberikan kontribusi terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

“Jadi, kami sungguh-sungguh terbuka dan mengakomodir masukan-masukan yang ini juga sudah dilakukan oleh golongan-golongan mahasiswa maupun BEM di Undip. Ini sesuatu yang sungguh-sungguh baik dalam arti bahwa tata tertib ini nantinya juga akan berupaya untuk memberikan satu perlindungan secara keseluruhan dengan melaksanakan tindakan pencegahan,” ujarnya.

Pasalnya, korban kekerasan seksual tidak hanya menimpa perempuan saja, namun juga laki-laki, “ secara kuantitas memang lebih slot bet kecil banyak perempuan, namun tidak menutup kemungkinan korban kekerasan seksual itu juga adalah yang berjenis kelamin laki-laki,” imbuh Nur.

Kerentanan pelecehan seksual yang terjadi dalam perguruan tinggi bukanlah hanya melalui fisik semata, melainkan juga melalui verbal. Maka dari itu, perguruan tinggi perlu melaksanakan upaya untuk memberikan perlindungan. Upaya hal yang demikian pada pengimplementasiannya tentu memerlukan kerjasama dalam jejaring.

“Jejaring yang diperlukan dapat meliputi kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga pendamping tanpa terkait dengan perlindungan perempuan dan si kecil. Perguruan tinggi memiliki kewajiban terhadap penanganan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban,” pungkasnya.